beberapa hari lalu saya mendapatkan email dari kepala sekolah Sekolah Alam Depok (SADe) yang berisi kutipan dari salah seorang yang cukup terkenal di negara kita ini, seorang ahli di bidang ekonomi dan marketing, Bapak Rhenald Kasali, yang juga seorang ketua program Magister Management Universitas Indonesia. Dalam surat terbukanya untuk memperingati hari guru di Indonesia, beliau menemukan keunikan guru dari sikap dan sifat mengajarnya. berikut petikan dari surat beliau yang dikirim kepada saya melalui Bapak Edifrizal Darma.
DUA JENIS GURU
Di Hari Pendidikan lalu, saya bertemu dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga. Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral, kertas lipat, lidi, atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.
Guru Kognitif
Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah orang itu.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan babbab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas,mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit. Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya. Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya sering menyebut anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.
Guru Kreatif
Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu-belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar, sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill. Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan,disiplin diri,dan seterusnya.
Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alat-alat bantu lainnya. Sebaliknya, guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga, kita akan buat sendiri dari limbah.
Kalau perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,” ujarnya. Saya tertegun. Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika, tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar.
Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan saya. Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya.” Selamat merayakan Hari Pendidikan dan jadilah guru yang mengantarkan kaum muda ke jendela masa depan mereka.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Edifrizal Darma
www.sekolahalamdepok.com
Dari artikel di atas dapat kita simpulkan bahwa di luar Indonesia terdapat guru yang mengajarkan kepada kehidupan dibandingkan pada konteks. menurut saya hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang ada di Indonesia pada umumnya. Namun saat ini sudah mulai tampak gelagat berkembangnya sekolah-sekolah yang memiliki visi dan misi bertujuan untuk mengajarkan para siswanya untuk dapat hidup di masa depannya dengan modal pembelajaran alam sekitar. karena seseorang akan mulai menghargai diri sendiri disaat dia menghargai alam disekitarnya.
Fenomena maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan salah satu hasil yang didapat dari metode pendidikan masa lalu (walaupun tidak semuanya berdampak buruk), apabila seseorang menghargai alam sekitarnya maka dia akan menghargai diri sendiri. Apabila kita mengajarkan pada anak didik kita bahwa kalau kita menebang pohon yang ada sekarang, maka apa saja konsekuensi yang akan kita terima dampaknya dimasa yang akan datang, begitu pula sebaliknya, apabila kita mengajarkan anak didik kita untuk menanam pohon sekarang, hasil apa saja yang akan kita dapatkan di masa yang akan datang.
Apabila seseorang tahu apa yang akan terjadi dimasa datang atas tindakannya saat ini, maka orang tersebut akan berpikir berulang-ulang untuk melakukan tindakannya tersebut. Seandainya dia tahu kalo korupsi itu akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dan "dirinya", maka orang tersebut tidak akan melakukan korupsi.
Menjadi guru merupakan panggilan jiwa dan bukan sebuah tuntutan profesi semata, karena hal ini akan berdampak juga pada saat transfer ilmu dari seorang guru kepada muridnya. Apabila seorang guru dengan ikhlas dari dalam hati yang paling dalam memberikan ilmu yang dimilikinya, akan semakin banyak pelajaran yang akan diresapi oleh anak didiknya dan dapat dipergunakan untuk masa depannya. Sebaliknya apabila seorang guru mengajar hanya sebagai tuntutan profesi (emang sudah harus begitu...), maka anak didikpun akan sulit menerima ilmu yang diajarkan oleh guru tersebut.
PESAN UNTUK GURU
Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan sebagai seorang guru,
SIAPAKAH KITA ?
APA YANG AKAN KITA SAMPAIKAN PADA ANAK DIDIK KITA ?
MAU DIBAWA KEMANA ANAK DIDIK KITA DI MASA DEPAN MEREKA NANTI ?
untuk semua guru seluruh Indonesia